Pages

Saturday, November 21, 2009

Pacaran: Eksperimentasi Seksual

Naaak, kalo pacaran jangan lama-lama..

Pernah mendengar anjuran seperti diatas? Atau mungkin pernah mendengar anjuran lain yang tidak terlalu jauh berbeda, seperti:

Naak, kan udah pacaran lama, buruan nikah

Mungkin disatu sisi, kita akan berpikir bahwa untuk mempersiapkan diri menuju jenjang perkawinan tentunya bukan perkara mudah, tapi mungkin dua anjuran atau wejangan diatas ada benarnya.

Sebelum membahas lebih dalam, saya akan menjelaskan definisi pacaran terlebih dahulu, pacaran merupakan hubungan lawan jenis secara permanen yang dirasakan nyaman, disukai, dan berkemungkinan untuk dilanjutkan kearah pernikahan. Meskipun memiliki banyak fungsi, pacaran pada rentang usia remaja dan dewasa memiliki fungsi diantaranya untuk rekreasi, memperoleh persahabatan tanpa menikah, memperoleh status, sosialisasi, eksperimentasi seksual, serta memperoleh keintiman.

Diantara banyak fungsi tersebut, pacaran menurut Spanier (dalam Duvall & Miller, 1985) lebih erat kaitannya dengan perilaku seksual. Walaupun sempat merasa kurang yakin dengan penjelasan tersebut, fakta yang saya temui ternyata cukup mencengangkan. Artikel yang dimuat Kompas 28 Januari 2005 dengan judul ”40 % kawula muda ngeseks di rumah” mengungkap bahwa 474 remaja dengan usia 15-24 tahun yang menjadi partisipan penelitian 44 % diantaranya mengaku telah melakukan hubungan seksual sebelum berusia 18 tahun. Mereka yang melakukan hubungan seksual 85 % diantaranya melakukan dengan pacarnya, dan sebanyak 36 % menyatakan bahwa mereka mengenal pasangannya kurang dari enam bulan. Adapun penelitian ini dilakukan di wilayah Jakarta dan sekitar, Bandung, Surabaya, dan Medan.

Dalam berpacaran sendiri perilaku seksual dapat dikategorikan menjadi 10 perilaku, yaitu: 1.) pegangan tangan, 2.) berangkulan, 3.) berpelukan, 4.) berciuman pipi, 5.) berciuman bibir, 6.) meraba-raba dada, 7.) meraba-raba alat kelamin, 8.) menggesek-gesekan alat kelamin, 9.) oral seks, dan 10.) sexual intercourse.

Pada umumnya, untuk mencapai sebuah tahap perilaku tertentu harus terlebih dahulu melakukan tahap sebelumnya. Sebagai contoh, untuk mencapai perilaku berciuman pipi, maka diasumsikan sebelumnya telah melakukan berpegangan tangan, berangkulan, dan berpelukan. Dalam kesehariannya, mungkin bisa dijabarkan secara sederhana bahwa dalam berpacaran biasanya individu ‘baru berani’ berpegangan tangan setelah sekian waktu. Untuk kemudian, ‘baru berani’ rangkulan atau pelukan setelah sekian lama pula. Begitu pula perilaku seksual berikutnya, ‘baru berani’ setelah waktu tertentu.

Di Indonesia sendiri, penelitian serupa pernah dilakukan Ariyanto (2008) dengan sampel mahasiswi salah satu Universitas ternama di Indonesia. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa diantara 138 partisipan, perilaku seksual yang paling banyak dilakukan adalah berciuman bibir dengan persentase sebesar 57 persen. Adapun waktu rata-rata yang dibutuhkan untuk bisa mencapai perilaku berciuman tersebut adalah 4, 4 bulan.

Tingginya persentase berciuman, menurut Ariyanto (2008) terjadi karena masih adanya norma yang mengikat para individu untuk menjaga hubungan pacaran dalam batas yang wajar. Tidak melakukan hubungan sexual intercourse (penetrasi penis kedalam vagina)sampai mereka berada dalam hubungan pernikahan yang sah. Berciuman merupakan perilaku seksual yang, walaupun juga dilarang, tapi masih dianggap sebagai perilaku yang wajar dilakukan oleh pasangan.

Untuk perilaku seksual yang lain, meraba-raba alat kelamin dilakukan setelah 5, 6 bulan, dan oral seks dilakukan setelah 6, 2 bulan. Untuk sexual intercourse waktu rata-rata yang diperlukan adalah 10, 1 bulan dengan persentase yang melakukan sebesar 6, 5 % dari 138 partisipan.

Penelitian diatas juga menghasilkan temuan bahwa yang mempengaruhi aktivitas perilaku seksual dalam berpacaran, selain lama berpacaran, adalah frekuensi pengalaman dalam berpacaran. Sebagai contoh, seorang yang pernah berpacaran sebanyak 10 kali memiliki kecendrungan yang lebih tinggi untuk melakukan perilaku seksual lebih banyak dibandingkan orang lain yang hanya 5 kali berpacaran.

Berbagai teori yang membahas aktivitas perilaku seksual memang mencoba menjelaskan banyak alasan mengenai apa yang menyebabkan aktivitas seksual itu terjadi. Mengingat usia partisipan dalam penelitian tersebut dapat dikategorikan remaja akhir yang cukup banyak melakukan aktivitas dengan teman sebaya, maka factor tersebut tidak dapat dikesampingkan. Newcomb, Huba, and Hubler (1986) mengatakan bahwa perilaku seksual juga dipengaruhi secara positif orang teman sebaya yang juga aktif secara seksual.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan mengenai perilaku seksual dalam berpacaran, maka untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan perlu ditingkatkan kewaspadaan seiring dengan meningkatnya periode dan frekuensi pengalaman berpacaran.

Read more...

Musik sebagai Sarana Pendidikan Anak

Tidak perlu dipungkiri, musik mempunyai pengaruh besar dalam kehidupan kita. Dan pengaruh positif musik dalam kehidupan kita merupakan suatu topik menarik untuk dibicarakan. Menarik karena pengaruh positif tersebut relatif tidak terlihat [intangible] walaupun konkrit [dapat kita rasakan]. Pengaruh positif musik tersebut bahkan sudah terjadi pada saat awal perkembangan kita sebagai individu.

Musik terbukti sangat membantu perkembangan otak, perkembangan indera, perkembangan kemampuan bahasa, dan kemampuan sosial anak usia dini [hingga 6 tahun]. Dalam beberapa penelitian neuromusikal, musik terbukti membantu perkembangan otak manusia khususnya pada planum temporale bagian kiri, di mana bagian otak ini berperan besar dalam perkembangan bahasa. Dengan hasil penelitian ini, musik dianggap mampu membantu perkembangan bahasa anak.

Sebuah fakta menarik tentang perkembangan bayi terjadi pada awal abad 20: Di panti-panti asuhan di Eropa dan Amerika terjadi bencana besar di mana angka kematian bayi berusia di bawah satu tahun mendekati 100%(1), walaupun bayi-bayi itu mendapatkan nutrisi yang cukup. Bencana tersebut mulai dapat teratasi di sebuah panti asuhan di Jerman, setelah pihak panti asuhan menyewa seorang wanita sebagai pengasuh untuk memberikan stimulasi afeksi pada bayi-bayi di sana. Angka kematian yang mendekati 100% tersebut secara drastis menurun setelah bayi-bayi itu diberikan cinta dan sayang oleh si pengasuh.

Bagaimanakah memberikan rasa cinta dan sayang kepada bayi? Tiga cara utama untuk mengkomunikasikan cinta dan sayang kepada bayi adalah melalui berbicara, bernyanyi, dan memberikan sentuhan. Kegiatan musikal dapat dengan baik menyampaikan cinta dan sayang itu kepada bayi. Salah satu metode yang efektif dan sering digunakan adalah motherese. Motherese adalah cara khusus berbicara ibu kepada bayinya. Cara ini sarat dengan elemen musikal melalui variasi tinggi nada suara, irama, dinamika, dan warna suara ibu [atau pengasuh]. Ingat-ingatlah kembali ketika Anda melakukannya pada anak Anda [atau keponakan Anda]. Dengan cara ini anak bukan hanya merasakan cinta dan sayang, namun ia juga mulai belajar bahasa lisan.

Rangsangan ritmik pada bayi berupa timangan juga terbukti membantu anak untuk lebih cepat mendapatkan bobot yang optimal. Dalam timangan, anak diajak untuk melibatkan seluruh tubuhnya melakukan gerakan ritmik, gerakan teratur berdasarkan ketukan tertentu. Anak yang mendapat timangan juga akan lebih cepat dalam perkembangan indera penglihatan dan pendengaran, serta terbukti lebih cepat mendapatkan siklus tidurnya.

Kegiatan bermusik juga membantu perkembangan kemampuan motorik anak. Secara alamiah, elemen ritmik pada musik dapat membuat anak menggerakkan tangan, kepala, dan kakinya. Dengan cara yang tepat, rangsangan ritmik pada anak akan membuatnya belajar mengkoordinasi organ tubuhnya untuk berespon atau melakukan sesuatu dengan baik dan benar [memegang sesuatu, melompat, berjinjit, dll.]

Melalui musik, anak juga belajar bersosialisasi dan berinteraksi dengan orang lain. Sebagai contoh adalah permainan hom pim pa, dan sut. Dalam permainan ini kemampuan anak untuk mengeksekusi gerakan sesuai ritme sangat diperlukan: jika terlambat akan dianggap curang, jika terlalu cepat akan sangat dirugikan. Hampir seluruh permainan anak-anak yang dilakukan bersama-sama menggunakan musik dalam bentuk gerak dan lagu. Gerak dan lagu ini membantu anak untuk melibatkan aspek motorik, intelektual, dan emosi anak dalam sebuah kegiatan bersama.

Jika kita perhatikan dengan seksama beberapa paragraf di atas, kita dapat melihat bahwa musik dapat membantu anak-anak untuk mengaktualkan potensi motorik, intelektual, dan emosinya. Dan jika kita rujuk pada akar kata pendidikan [Inggris: education, dari bahasa latin: educare yang berarti mengeluarkan, mengaktualkan, dan mengembangkan potensi seseorang] maka musik adalah juga sarana pendidikan bagi anak. Musik dapat membantu anak untuk berkembang, untuk mengaktualkan potensi-potensinya.

Selamat bersenang-senang sambil bermusik dengan anak-anak Anda, masih belum terlambat bagi kita untuk ‘mendidik’ mereka dengan berkegiatan musik bersama.

Read more...

Musik Klasik di Indonesia

ndonesia memiliki berbagai lembaga pendidikan musik klasik seperti Yamaha Musik, Farabi, Sekolah Musik Jakarta, Institute Kesenian Jakarta. Perkembangan musik klasik tidak lepas dari sistem pendidikan musik klasik itu sendiri. Salah satu sistem pendidikan yang berhasil mengembangkan musik klasik di Indonesia adalah sistem pendidikan ABRSM (Assosiated Board of the Royal Schools Of Music) yang sering dikenal dengan sistem Royal. Sistem pendidikan musik Yamaha juga merupakan sistem pendidikan musik yang berhasil memberikan pendidikan musik klasik di Indonesia.
Saat ini, hanya segentir univeristas di Indonesia yang memiliki jurusan musik. Misalnya Universitas Pelita Harapan yang memilki jenjang pendidikan Sarjana di bidang Musik. Institute Seni Musik Jogyakarta adalah salah satu pendidikan formal tertua di Indonesia.

Beberapa Nama besar dalam perkembangan musik klasik di Indonesia adalah Ananda Sukarlan dan Trusutji Kamal. Siapakah beliau?

Ananda Sukarlan memulai perjalan musik nya pada umur 5 tahun. setelah lulus dari SMA kanisius tahun 1986, beliau memutuskan untuk kuliah di Jakarta Musik school. Ananda Sukarlan adalah seorang pianist yang tahan banting. Mental yang dimiliki beliau benar-benar mental seorang pemenang. betapa tidak, Beliau sempat kembali ke Indonesia karena Beasiswa beliau dari Petrof Piano dihentikan sebelum beliau lulus. kemudian pada saat Beliau telah berhasil mendapatkan beasiswa kedua dari pemerintah Belanda, beasiswa tersebut juga harus dihentikan karena kerjasama kultural antara Indonesia dan Belanda telah berakhir. Hal tersebut tidak menyurutkan semangat beliau untuk menjadi pianist handal. Beliau akhirnya menang pada sebuah kompetisi piano dan mendapatkan dana untuk digunakan sebagai biaya hidup selama 8 bulan.Mulai saat itu berbagai penghargaan dan prestasi nasional berhasil beliau raih. Beliau termasuk pianist yang produktif dalam memberikan seminar, mengadakan konser dan menggubah lagu.

Trisutji Kamal adalah seorang pianist dan composer kelahiran Jakarta. Beliau lahir di dalam lingkungan musik dengan latar belakang orang tua yang memahami biola. Beliau tumbuh di Sumatra Utara di dalam budaya Malasia. Pada saat berumur 7 tahun Beliau memulai perjalanan musiknya. Sejak awal pejalannya, bakat beliau dalam mengubah lagu sudah sangat terlihat. Dalam usianya yang relatif muda, Beliau menempuh berbagai pendidikan di konsevatori musik Eropa. Dalam perjalanan pendidikannya, banyak komposisi beliau dimainkan di Roma, Vienna, Moscow dan Prague.Akhirnya Beliau lulus dari conservatory Santa Cecilia Roma dengan konsentrasi Piano, komposisi dan akustik musik. Beliau akhirnya memutuskan untuk kembali ke Indonesia pada tahun 1967 dan mulai aktif dalam dunia musik Indonesia dengan mengadakan pertunjukan, memberikan kuliah di berbagai institusi musik dan berbagai kegiatan musik lainnya. Sumbangsih beliau untuk musik tradisional Indonesia nampak dengan berdirinya "Trisutji Kamal Ensemble" yang merupakan gabungan antara piano duo dan Gamelan Bali pada tahun 1995.



Read more...

Memberi Arti Musik

KONTEKS
Sepanjang usia peradaban manusia, musik tidak pernah tidak termasuk di dalamnya. Ada juga yang berspekulasi bahwa musik bukan murni ‘milik’ manusia: ia mungkin sudah ada sebelum manusia itu ada. Terlepas dari itu –sadar atau tidak; percaya atau tidak; langsung atau tidak– musik selalu ada dalam hidup kita. Musik mempunyai peran dan kekuatan yang tidak kecil [kalau tidak bisa dibilang besar] dalam kehidupan manusia. Ia mempunyai banyak fungsi: komunikasi, ekspresi, dokumentasi, identitas, hiburan, dan [mungkin] masih banyak lagi. Bahkan di budaya yang men’tabu’kan beberapa praktik musik pun, nyata bahwa musik berperan penting dalam kehidupan masyarakatnya [Regelski, 2006].

Studi ilmiah tentang hubungan manusia–musik terus dilakukan sejak berabad-abad sebelum masehi, hingga saat ini. Dengan segala kekuatan dan kelemahannya studi-studi tersebut ingin mengkaji lebih dalam hubungan manusia–musik dengan tujuan peningkatan kualitas hidup manusia: efek terapeutik, kepentingan politis, ekonomis, ideologis, pendidikan, dan lainnya. Namun kondisi yang kita alami lebih dari dua dekade terakhir membuat kita sering merenyutkan dahi dan tak habis-habisnya menghela nafas. Hampir di semua lini kehidupan terjadi kemerosotan kualitas: sumber daya alam, ekonomi, politik, pendidikan, hukum, kekeluargaan, dan sebagainya. Ini terjadi pada saat dimana kita mengalami begitu ‘maju’nya studi ilmiah di semua bidang kajian, termasuk manusia–musik. Dalam studi-studi kajian tentang musik tercatat bahwa saat ini musik mengalami masa produksi-distribusi-konsumsi paling subur seumur peradaban manusia.


Tony Prabowo, seorang komposer kontemporer kebanggaan Indonesia pernah mengajukan sebuah pertanyaan retorik: “Sekarang ini musik apa yang tidak ada?”. Begitu banyak musik dari genres yang sudah tidak bisa lagi dihitung jumlahnya, hingga kita tidak lagi bisa dengan jelas membedakan satu genre dengan genre yang lain. Saat ini dengan mudah sekali kita bisa mendengarkan musik [suatu hal ya

ng tidak terlalu mudah terjadi pada awal abad 20, apalagi periode-periode sebelumnya]. Tanpa lagi kita perlu datang ke ruang dan waktu pertunjukan musik, tanpa perlu susah-susah membeli rekaman yang harganya cukup mahal, sekarang kita sudah dapat mendengarkannya di televisi, radio, ruang-ruang publik, bahkan melalui alat-alat bantu yang sifatnya personal [handphone, personal computer, mp3 player, dsb]. Dalam bidang ilmu psikologi musik, guru besar dari Universitas Keele di Inggris, John Sloboda dengan kritis menyampaikan keresahannya mengenai perkembangan ilmu psikologi musik saat ini:

”suppose all the music psychology in the world had never been written and was expunged from the collective memory of the world, as if it had never existed, how would music and musicians be disadvantaged? Would composers compose less good music, would performers cease to perform so well, would those who enjoy listening to it enjoy it any less richly?”
[Sloboda, 2005, h. 395-396]

silakan hening sejenak untuk beberapa saat

Ya, seringkali memang meningkat-drastisnya kuantitas tidak terbarengi dengan peningkatan kualitas. Dengan kata lain, saat ini musik sedang mengalami devaluasi. Fungsi-fungsi sederhana musik yang ‘dulu’ sering kita rasakan mulai tergantikan dengan fungsi-fungsi yang terlalu mewah dan jauh dari kesederhanaan hidup. Pengalaman musikal yang sifatnya personal, subtle, complex, unreplicable berubah sifat menjadi collective, plain, simple, dan replicable. Hal ini beriring dengan ‘penekanan’ musik sebagai milik sebagian orang yang mempunyai ‘kekuatan’ besar atasnya. Yang dinamakan ‘musik yang baik’ secara buta telah distandarkan mutunya bahkan disempitkan keragamannya menjadi hanya beberapa genre saja. Sebagian besar orang menganggap keberhasilan praktik musik hanyalah popularitas, rekor jumlah penjualan dan luas distribusi produk, prestasi dari kompetisi, atau saratnya jenjang formal pendidikan musik. Kita makin meninggalkan fungsi dan praktik musik yang lebih menekankan pada kenikmatan personal dan kohesi sosial [guyub], pada kesukariaan menghasilkan suara-suara yang indah, pada kesederhanaan.

Apa relevansi keluh-kesah singkat sejumlah tiga paragraf di atas dengan tantangan hidup kita sebagai manusia abad 21? Kita yang hidup di abad 21 ini, khususnya di dekade awal milenium kedua ini mengemban tugas yang cukup berat. Tugas tersebut tidak diberikan oleh generasi sebelum kita, namun justru oleh generasi-generasi mendatang. Satu kata kunci dalam tugas kita tersebut adalah LESTARI. Kata ini saya gunakan sebagai padanan dari istilah yang cukup ‘santer’ kita dengar akhir-akhir ini yaitu sustainable development. Secara khusus tahun 2005-2014 dicanangkan secara global sebagai dekade pendidikan untuk kelestarian [education for sustainable development]. Tujuan dari dekade ini adalah untuk mengintegrasikan prinsip-prinsip, nilai-nilai, dan praktek-praktek lestari [sustainable development] ke dalam semua aspek pendidikan dan pembelajaran [UNESCO, 2005]. Upaya ini akan menyemangati perubahan dalam tingkah laku yang akan menciptakan masa depan yang lebih lestari dalam hal integritas lingkungan hidup, kemampuan ekonomi, dan masyarakat yang adil untuk generasi sekarang dan mendatang. Perkembangan lestari ini hendak mengajak kita semua untuk melihat kehidupan ini tidak hanya pada saat KINI, namun juga apresiasi atas LALU, dan yang terpenting adalah usaha untuk ESOK.

Baru saja saya tersadarkan bahwa bukan pendidikan untuk kelestarian yang ingin saya ajukan atau sampaikan dalam tulisan ini, karena saya memang tidak menguasai benar topik tersebut. Namun dalam praktik pendidikan musik dan pendidikan nilai yang saya jalani selama ini, uraian di atas sungguhlah relevan dalam kajian dan praktik mengenai musik dan peningkatan kualitas hidup manusia. Uraian tersebut akan menjadi landasan dan konteks kita bersama dalam bertukar pikiran tentang apa yang bisa kita bersama kontribusikan untuk menata karakter bangsa melalui praktik kita dengan musik. Tulisan ini juga bukan merupakan advokasi terhadap pentingnya musik bagi pendidikan dan peningkatan kualitas hidup namun lebih merupakan ajakan sederhana untuk lebih memberi nilai pada musik → ‘makhluk misterius’ yang telah menemani manusia di sepanjang peradabannya.


PENGALAMAN MUSIKAL

Ada banyak definisi musik, beberapa di antaranya: “tata bunyi dan sunyi”; “keindahan yang terinderai lewat pendengaran”; “pengalaman estetis melalui media audio”; “alunan ritme, melodi, dan harmoni”; “rangsang dengar yang memberi makna bagi pendengarnya”; dan masih banyak lagi yang lainnya. Secara garis besar ada dua sudut pandang yang dapat dipakai untuk melihat ‘si musik’ ini.
Sudut pandang pertama adalah menempatkan musik ‘di luar’ sana, sebagai sebuah objek aural khas yang memberi rangsang inderawi [secara utama lewat indera pendengaran] yang kemudian kita persepsi sebagai musik. Pada sudut pandang ini, musik dianggap mempunyai nilai inheren, intrinsik, dan sudah terberi [sudah ada pada musik itu sendiri tanpa perlu diberi atau ditambahkan]. Dengan posisinya yang ‘di luar sana’, secara relatif mudah musik dapat kita ‘urai’ apa saja unsur-unsur penyusunnya. Sudut pandang ini akan lebih banyak memberikan uraian objektif dan definit tentang apa itu musik.

Sudut pandang yang kedua adalah menempatkan musik ‘di dalam’ subjek. Sudut ini melihat musik sebagai sebuah pengalaman yang sifatnya personal, kompleks, situasional dan tidak dapat direplikasi. Dengan sifat-sifat tersebut musik bukanlah untuk diformulasikan, dipastikan. Musik menjadi satu dengan subjek yang mengalaminya dalam campuran dan kombinasi yang unik dan harmonis dari kondisi fisik, mental, spiritual, sosial, budaya, ideologi, bahkan mungkin juga politik, dan sebagainya. Sudut pandang ini lebih banyak memberikan gambaran subjektif pengalaman apa yang kita dapat dari musik.

Saya yakin, tanpa perlu dipusingkan oleh kedua sudut pandang di atas, kita tahu benar apa itu musik. Tanpa perlu mendefinisikannya kita [masing-masing] tahu mana yang musik, mana yang bukan. Lebih advance lagi, saya yakin kita bisa dengan mudah membedakan mana yang keroncong, mana yang rock ‘n roll. Dalam tingkat yang lebih personal, kita mempunyai musik/ lagu/ komposisi yang sangat kita sukai, yang menjadi favorit kita masing-masing, yang sangatlah mungkin berbeda dengan orang lain. Hal ini menunjukkan bahwa selain mempunyai kualitas-kualitas objektif, musik sarat akan subjektivitas. Musik adalah sebuah pengalaman.

Pengalaman musikal menjadi kunci dari makna yang kita dapatkan [atau kita berikan] dari keterlibatan kita dengan musik. Musik bukanlah resep/ formula yang serta merta akan manjur mengatasi masalah-masalah tertentu dalam kehidupan kita. Tanpa keterlibatan aktif kita terhadapnya dan makna yang kita dapatkan atau kita berikan atasnya, musik tidak akan berbicara banyak dalam peningkatan kualitas hidup kita. Hal senada dikemukakan oleh Prof. Alexandra Lamont yang mengatakan bahwa tidak ada bukti yang menyatakan bahwa hanya dengan mendengarkan musik dapat memberi pengaruh pada kecerdasan maupun emosi anak.

Mengambil dari sudut pandang John Dewey [1938], pengalaman adalah sebuah keutuhan proses dan interaksi antara manusia dengan suatu kejadian. Suatu kejadian mensuksesi kejadian lainnya, terus-menerus, dimana di dalamnya terjadi interaksi diri [dengan segala aspeknya: kognisi, afeksi, psikomotor] dengan lingkungannya. Hal yang sama juga terjadi dalam sebuah pengalaman musikal. Kompleksitas tersebut terjadi saat kita benar-benar terlibat dengan musik. Karenanya kita bisa merasa senang atas bebunyian yang terjadi, bersemangat, lega, mengutak-atik akal dan duga, bernostalgia, terbawa dalam mood tertentu, dan berbagai macam pengaruh lainnya. Secara alamiah, inilah yang kita rasakan saat terlibat dengan musik.

Dalam teorinya tentang peak experience, Abraham Maslow mengatakan bahwa salah satu moda yang dengan mudah bisa membawa kita dalam pengalaman yang sungguh dalam tersebut adalah musik [selain seks]. Dan konsep peak experience yang diajukan Maslow tersebut merupakan pencapaian tertinggi pada tingkat aktualisasi diri. Pada titik inilah hubungan manusia–musik dapat dilihat sebagai sarana pendidikan. Pendidikan [education dalam bahasa Inggris] berakar kata dari bahasa Latin educare yang artinya mengaktualkan potensi manusia. Musik memberi kita peluang bagi memperoleh pengalaman yang dapat mengaktualkan potensi kita sebagai manusia. Kepercayaan bahwa potensi manusia pada dasarnya adalah baik sangat diperlukan untuk dapat membawa praktik musik dalam peningkatan kualitas hidup.

Kealamiahan pengalaman kita dengan musik ini juga merupakan penguat dari teori yang mengungkapkan bahwa manusia [semua orang, kecuali yang mengalami amusia atau kerusakan otak parah] adalah musikal: mampu menginderai dan menikmati musik. Saya termasuk orang yang percaya benar dengan pandangan/ teori itu dan begitu antusias untuk mempropagandakannya. Ini berarti besar [setidaknya bagi saya]: setiap orang mempunyai bekal untuk bisa mengaktualkan potensinya lewat musik.

MEMBERI NILAI PADA MUSIK [VALUING MUSIC]

Musik tidak pernah tidak, selalu berkaitan dengan nilai. Semua studi yang melihat hubungan musik dengan manusia menunjukkan bahwa musik [tidak pernah tidak] mempunyai nilai dalam kehidupan manusia. Lebih lanjut lagi, musik diyakini ada [atau diadakan] untuk melayani nilai tertentu [religius, ekonomis, ekspresi, komunikasi, politis, dan lainnya].
Dari sudut pandang pertama tentang apa itu musik [yang melihat musik ‘di luar’ sana], musik diyakini mempunyai nilai inheren dan sudah terberi padanya: musik sudah bernilai dari ‘sana’nya. Suatu karya musik yang baik adalah penataan yang baik dari elemen-elemen suara/ bunyi sesuai dengan standar tertentu. Tidak jarang orang dengan sudut pandang ini akan dengan mudah membandingkan mutu musik klasik dengan musik dangdut [sebagai contoh]. Dari sudut pandang ini, praktik musik dilihat sebagai upaya untuk mengaktualkan nilai-nilai inheren yang dimiliki musik: bagaimana menampilkan suatu karya agung agar sesuai benar dengan maksud si komposer; bagaimana ‘menjual’ musik tertentu agar sesuai dengan karakter dan nature suatu karya; bagaimana cara yang paling tepat menikmati suatu karya musik; dan sejenisnya.

Sedangkan dari sudut pandang kedua yang melihat musik adalah sebuah pengalaman subjektif, nilai adalah sesuatu yang kita berikan [assign] pada musik dan praktiknya. Subjektivitas sebuah pengalaman menjadikan kita sebagai agen proaktif dalam pemberian makna atas praktik dengan musik. Setiap jenis musik [yang merupakan hasil dari praktik musik] mempunyai nilai yang sangat khas, yang tidak mudah [kalau tidak bisa dibilang tidak mungkin] untuk dibandingkan satu dengan lainnya dalam hal nilai. Nilai ekspresi jatuh cinta “Für Ellise” karya Beethoven tidak begitu saja bisa dibandingkan dengan ekspresi yang sama pada lagu folk Sunda “Bubuy Bulan” [sebagai contoh]. Musik bukan saja tata bunyi, lebih dari itu interaksi kompleks elemen intramusikal [nada, temporal, timbre, dan dinamika] dan ekstramusikal [konteks, nilai personal-komunal, budaya, ideologi, politik, dan lainnya].

Tentunya kita tidak harus memilih satu saja dari dua sudut pandang tersebut. Pemahaman atas kedua wacana tersebut akan memperkaya kita dalam menentukan apa, mengapa, dan bagaimana praktik kita dengan musik dalam kesesuaiannya dengan tujuan kita, kondisi saat ini, dan tantangan saat ini dan masa depan.

Lebih dari dua dekade terakhir ini, kita banyak di'bombardir' dengan data-data [baik yang empirik maupun spekulatif] tentang pentingnya musik bagi perkembangan anak-anak. Dari mulai pengaruhnya terhadap kemampuan bahasa, berhitung, spasial, juga kedisiplinan anak. Salah satu contohnya adalah demam Efek Mozart. Tidak sedikit orang tua yang kemudian 'berlomba' memberikan stimulasi musik kepada anaknya dalam dosis dan formula tertentu. Tujuannya adalah agar anak-anak mereka cepat berkembang kemampuan bahasanya, jenius dalam matematika, serta disiplin di rumah dan di sekolah. [Sayangnya] hanya musik-musik tertentu saja yang secara populer dianggap pasti memberikan efek manjur [banyak juga yang menganggapnya sah secara ilmiah]. Kenyataan ini banyak dilirik oleh para ‘pengamat-pengisi peluang’ [saat ini banyak yang memberikan istilah pada orang-orang tersebut sebagai enterpreneur] sebagai celah untuk berbisnis –dalam konotasi yang sempit, peluang untuk menghasilkan profit saja tanpa usaha keras mensustain benefit. Kita banyak melihat bungkusan susu balita dengan bonus CD yang berisi lagu-lagu yang dapat membuat mereka cerdas; di toko-toko rekaman musik audio banyak dijual album “Musik untuk Bayi Anda”, “Musik untuk Membuat Anak Jenius”, dan sejenisnya. Tidak sedikit juga para orangtua yang segera mencari institusi-institusi pendidikan untuk anak usia dini yang memberikan pelajaran musik, tanpa merasa perlu dengan teliti dan bijaksana mempedulikan dan mempertimbangkan pendekatan apa yang digunakan dan bagaimana jalannya pendidikan musik yang akan dialami putra-putrinya [kabar gembira bagi advokasi pendidikan musik bagi anak!]. Musik dianggap sebagai zat mujarab yang dapat mengatasi masalah perkembangan anak. Kenyataan ini berlanjut pada makin senjangnya status sosial dimana musik yang ‘baik’ menjadi barang ekslusif yang hanya bisa didapat dan digunakan oleh mereka yang mampu mengadakannya sesuai formula dan dosis yang dianjurkan.

Benarkah hal-hal ini yang ditawarkan musik untuk anak-anak kita? Nilai apa yang perlu kita jadikan pedoman, panduan, dan tujuan dalam memfasilitasi praktik musik putra-putri kita?

Dari Pendekatan Keamanan ke Fokus pada NILAI

Dewasa ini, musik untuk anak banyak dilihat sebagai sarana bantu anak mendapatkan masa depan yang aman. Orangtua banyak mengharapkan agar dengan musik, anak-anaknya kelak akan sukses. Kebanyakan dari mereka menekankan prioritas pada tangibility hasil pendidikan musik: “Setelah sekian bulan, anak saya bisa memainkan lagu apa saja?”, “Kalau ikut kursus di sini, anak saya bisa main di konser dong?”, dan sejenisnya. Sayangnya institusi-institusi pendidikan musik merasa perlu juga menaruh prioritas yang sama agar tidak kehilangan calon siswanya [pada ‘jaman’ sekarang, fakta ini seringkali harus ditanggapi dengan maklum]. Hal ini berlanjut pada fokus pengajaran yang menekankan pada ‘bagusnya’ atau ‘ketidaksalahan’. Saat menampilkan musik, penekanannya adalah ‘jangan sampai salah’, ‘mainlah dengan aman’. Untuk menyampaikan penekanan ini, beberapa pendidik merasa bahwa cara paling ‘aman’ adalah memberi penekanan instruksional hanya pada elemen-elemen intrinsik musik: memainkan nada dengan tepat, eksekusi ritmik benar, dinamika dapat dimainkan dengan tepat, bahkan mimik muka pun harus ‘benar’ [dengan dalih bahwa hal-hal ini adalah indikator tingkah laku musikal yang karenanya harus dapat diukur]. Tidak sedikit para pendidik musik yang menerapkan kendali otoritarian karena cara ini dianggap sangat efisien untuk mengarahkan anak pada pencapaian tingkah laku terukur yang diinginkan. Hukuman menjadi alat untuk membentuk tingkah laku yang ingin dicapai, apapun bentuk hukumannya [dari setrap, tanpa ‘tedeng aling-aling’ membandingkan performance anak yang belum ‘baik’ dengan anak lain yang sudah lebih ‘baik’, atau mengabaikan anak yang belum menunjukkan tingkah laku yang diharapkan]. Penekanan pada ‘ketidaksalahan’ berlanjut pada cara mengevaluasi yang hanya berfokus pada jumlah munculnya tingkah laku menampilkan musik: si A sudah 80% tidak salah, si B tidak pernah mau memainkan instrumen, si C tidak pernah salah dalam memainkan lagu, dan sebagainya. Tidak bisa dipungkiri beberapa hal tersebut: fokus pada tangibility [sehingga bisa ‘mudah’ terukur], frekuensi/ kuantitas ‘kemunculan’ tingkah laku, kendali melalui hukuman, adalah hal-hal yang kita dapatkan dalam pendidikan yang kita alami selama ini. Hal-hal itu jugalah yang didapat oleh banyak pendidik saat mereka belajar tentang apa, mengapa, dan bagaimana berlangsungnya pendidikan. Dan [bisa jadi] ini adalah cara efektif untuk dapat mengukur keberhasilan pendidikan.

Pada titik inilah kita perlu untuk melihat lagi, keberhasilan seperti apa yang kita harapkan dari keterlibatan anak-anak kita dengan musik. Lebih mendasar lagi, kita perlu menentukan nilai apa yang akan kita berikan pada praktik musik [dan oleh karenanya nilai apa yang kita berikan pada musik itu sendiri]. Secara tidak sadar orangtua dan pendidik membebankan pada musik suatu ‘tugas’ untuk menyelesaikan permasalahan anaknya di masa depan: agar anak saya pandai matematikanya, sehingga NANTI nilai matematikanya bisa baik, sehingga NANTI nilai ujiannya baik, sehingga NANTI mudah mencari sekolah yang baik, sehingga NANTI bisa lulus dengan nilai yang baik, sehingga NANTI bisa mudah mencari pekerjaan, sehingga NANTI bisa memperoleh keamanan hidup, dan seterusnya. Tentulah keinginan ini tidak salah. Darwin pun akan setuju bahwa pemikiran ini diperlukan agar keturunan kita bisa selamat kelak. Poin yang ingin disampaikan dalam tulisan ini adalah ajakan untuk melihat dengan rendah hati dan sederhana, apa yang kita rasakan dan harapkan dari musik untuk kehidupan kita. Hal-hal tersebut adalah yang dimaksud dengan NILAI.

Dari sekian banyak informasi tentang pentingnya musik bagi perkembangan anak, sedikit sekali yang melihat dan membahas bahwa salah satu pengaruh sederhana dan kuat dari musik terhadap anak-anak adalah memberikan pengalaman yang sangat indah yaitu SENANG. Pengalaman sederhana nan indah ini sedikit dilihat sebagai hasil yang dituju dari praktik musik. Begitu juga dengan NILAI yang lain: Kedamaian, Kasih Sayang, Respek, Kesederhanaan, Kejujuran, Toleransi, Kerjasama, Persatuan, Kebebasan, Kerendahhatian, Tanggung Jawab.

Pendekatan ‘keamanan’ dalam pendidikan musik perlu untuk dirubah dengan pendekatan dan fokus pada NILAI. Yang saya maksud dengan NILAI di sini adalah hal-hal berharga yang selain bermakna personal namun tidak bisa dipungkiri universal sifatnya, yang akan membantu kita bersama untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Saya yakin, kita semua, masing-masing dan bersama-sama rindu akan Kedamaian, Kasih Sayang, Respek, Kesederhanaan, Kejujuran, Toleransi, Kerjasama, Persatuan, Kebebasan, Kerendahhatian, Tanggung Jawab. NILAI-NILAI tersebut kita butuhkan, semua dari kita, tanpa terkecuali.

Agar dapat teraktualkan, NILAI-NILAI tersebut mensyaratkan suasana yang juga bermuatan NILAI: suasana yang memberikan perasaan dihargai, dicintai, bernilai, dipahami, dan aman. Dengan terciptanya suasana bermuatan NILAI, aktualisasi potensi diri adalah sebuah keniscayaan. Apa implikasi interlude singkat tentang NILAI ini pada praktik kita dengan musik?

IMPLIKASI PADA PRAKTIK MUSIK
Memberi makna dan nilai pada musik sebagai suatu hal yang berharga, bermanfaat, dan menyenangkan mengimplikasikan pemberian sikap positif kepada musik. Musik tidak hanya sekedar dipandang sebagai suatu rangkaian bunyi yang harus dimainkan/ didengarkan, dijual, dikompetisikan, namun –lebih sederhana dari itu– adalah rangkaian bunyi yang indah, yang jika disimak lebih dalam bisa menyampaikan sesuatu yang berharga kepada kita.

Menyimak adalah moda utama dalam praktik musik. Tanpa kegiatan ini, kualitas intrinsik musik tidak akan dapat kita inderai dan oleh karenanya mustahil memberi makna atas praktiknya. Seluruh praktik musik harus berputar di sekeliling kegiatan menyimak: baik itu membuat musik, mendokumentasikan musik, menampilkan musik, maupun komposisi dan improvisasi. NILAI apa yang dapat kita dapatkan (atau lebih lanjut kita berikan) dalam menyimak? Menyimak membolehkan kita untuk merasakan apa yang disampaikan; menyimak memberi kita kesempatan untuk mengikutsertakan diri kita dalam sebuah pengalaman yang utuh; menyimak mengajarkan penghargaan atas hal-hal yang ada di luar diri kita, sekaligus menghargai diri kita sendiri yang sedang menjalani sebuah pengalaman.
Musik tidak akan dapat kita alami jika ia tidak teraktualkan. Partitur musik secanggih apapun tidak akan menjadi musik ketika ia tidak dimainkan; poster seorang rock star tidak akan memberikan pengalaman musikal jika tidak ada lagu yang terdengar darinya. Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas membuat musik (music-making) sangatlah penting dalam praktik musik. Anak-anak perlu untuk mendapatkan kesempatan seluas-luasnya untuk membuat musik. Kesempatan ini melatih anak untuk dapat mengatasi kesenjangan antara kemampuan musiknya dan tantangan musikalnya. Kesesuaian antara kemampuan musik dan tantangan musikal akan mengarah pada perkembangan diri, pemahaman diri, kenikmatan musikal, dan juga toleransi. Ketidaksesuaian antara keduanya akan mengakibatkan perasaan tertekan atau kebosanan.

Akomodasi dan pengenalan (atau bahkan mungkin pendalaman melalui praktikum) atas beberapa jenis/ style/ genre dalam praktik musik juga merupakan cara yang tepat bagi anak-anak kita untuk dapat memahami kekayaan pengalaman dari berbagai budaya. Hal ini tentunya akan memfasilitasi toleransi mereka atas budaya lain. Anak-anak akan mendapatkan kekayaan nilai musikal (intra dan ekstra-musikal) dari praktiknya dengan beberapa jenis musik.

Suasana musikal yang menyelimuti praktik musik anak-anak kita harus diperkental dengan suasana yang bermuatan nilai. Ruangan yang penuh dengan pigura berisi diagram alat-alat musik, poster musisi, dan musical notation chart tidak akan membuat anak menjadi musikal tanpa adanya suasana yang sederhana dan menjamin perasaan positif pada anak yang akan membuat mereka siap untuk mengalami musik dan memberi makna atasnya. Pemberian sikap positif ini juga mengimplikasikan semangat dan perasaan gembira dalam mengikuti kegiatan musik. Bagi anak-anak usia dini [0-6 tahun] musik seyogyanya adalah suatu kegiatan yang menyenangkan baik dari saat persiapan, proses belajar, dan saat menikmatinya. Mari kita ingat-ingat lagi betapa senangnya kita mendengarkan orangtua kita meninabobokan kita dengan suaranya yang indah [atau pas-pasan]; betapa senangnya kita menyanyikan lagu-lagu mengiringi permainan bersama teman-teman; betapa antusiasnya kita membuat sendiri alat yang bisa menghasilkan bunyi-bunyian yang unik!
Model musikal sangat diperlukan anak-anak dalam keberhasilan praktik mereka dengan musik. Model yang baik akan dapat memacu dan menjaga motivasi anak dalam berpraktik musik. Lebih lanjut lagi, banyak sekali nilai-nilai positif yang dapat kita ajarkan kepada anak-anak kita jika kita mengajarkan kepada mereka bahwa musik adalah suatu hal yang berharga, bermanfaat, dan menyenangkan. Jika model musikal adalah mereka yang tidak memberi nilai positif pada musik, akan sulit bagi anak-anak kita untuk berpraktik musik dengan motivasi yang juga positif. Disiplin, konsistensik fleksibilitas, ceria, antusias, kerja keras, rendah hati, jujur, adalah beberapa dari kualitas-kualitas yang sangat diharapkan anak-anak dari kita yang mereka jadikan model/ teladan.

Memberi makna dan nilai pada musik sebagai suatu hal yang berharga, bermanfaat, dan menyenangkan adalah pintu gerbang utama bagi kita untuk dapat mengalami pengaruh positifnya. Pemeliharaan relevansi praktik musik dan nilai dalam kehidupan sehari-hari juga merupakan tugas kita untuk mengamankan anak-anak dari situasi yang membingungkan. Anak-anak kita perlu untuk mendapatkan pengalaman langsung dimana praktik musik yang baik akan membawa kita pada aktualisasi nilai. Lingkaran ‘jahat’ yang tertampil dalam kehidupan sehari-hari yang [untuk sebagian orang] memaparkan ‘fakta’ bahwa kehidupan bermusik tidak dapat menjamin kelangsungan hidup [atau justru membawa pada penderitaan] perlu kita hapus dan kita nyatakan dengan bukti-bukti sederhana yang menyejukkan. Hidupnya musik dalam beberapa komunitas atau beberapa komunitas yang berbasiskan seni/ musik banyak yang bisa dijadikan contoh baik bagi anak-anak kita dalam memperluas wawasannya akan praktik musik. Atau bahkan mungkin Anda bisa membentuk sendiri komunitas seperti itu di lingkungan Anda ☺
Read more...

Pada Akhirnya

Sejak 2 tahun yang lalu dia sudah ada di hatiku. Ku mencintainya sejak pandangan pertama. Segala usaha aku lakukan untuk mendapatkan hatinya. Aku tahu ku pernah meninggalkannya, tapi pada akhirnya aku kembali lagi kepadanya. Aku tak pernah sedikitpun ada niat untuk memainkanmu. Apapun yang kamu minta, apapun yang buat kamu bahagia aku lakukan. Tetapi sekarang, di saat aku benar-benar butuh kamu ada di sampingku, kamu pergi begitu saja. Kamu membuang aku begitu saja. Aku tak tahu salahku, hatiku hanya buat kamu. Tapi aku tahu jika aku hanyalah orang yang takkan bisa ada di hatimu meskipun cintaku besar kepadamu. Ku berharap kamu bisa bahagia dengan semua keputusanmu ini. Aku takkan menangis lagi untuk hal ini. Aku anggap semuanya telah usai dan semuanya telah berakhir. Kamu telah dapetin mimpi kamu untuk hidup bebas dan aku mendapatkan kenyataan bahwa kamu bukan milikku. aku berterima kasih atas semua kebohonganmu selama, terima kasih atas kenangan indah di antara kita, terima kasih kamu dah pernah perhatian ke aku selama ini. Semoga kehidupanmu lebih baik setelah ini



Read more...

browser info

IP

technorati

Add to Technorati Favorites