Pages

Saturday, November 21, 2009

Memberi Arti Musik

KONTEKS
Sepanjang usia peradaban manusia, musik tidak pernah tidak termasuk di dalamnya. Ada juga yang berspekulasi bahwa musik bukan murni ‘milik’ manusia: ia mungkin sudah ada sebelum manusia itu ada. Terlepas dari itu –sadar atau tidak; percaya atau tidak; langsung atau tidak– musik selalu ada dalam hidup kita. Musik mempunyai peran dan kekuatan yang tidak kecil [kalau tidak bisa dibilang besar] dalam kehidupan manusia. Ia mempunyai banyak fungsi: komunikasi, ekspresi, dokumentasi, identitas, hiburan, dan [mungkin] masih banyak lagi. Bahkan di budaya yang men’tabu’kan beberapa praktik musik pun, nyata bahwa musik berperan penting dalam kehidupan masyarakatnya [Regelski, 2006].

Studi ilmiah tentang hubungan manusia–musik terus dilakukan sejak berabad-abad sebelum masehi, hingga saat ini. Dengan segala kekuatan dan kelemahannya studi-studi tersebut ingin mengkaji lebih dalam hubungan manusia–musik dengan tujuan peningkatan kualitas hidup manusia: efek terapeutik, kepentingan politis, ekonomis, ideologis, pendidikan, dan lainnya. Namun kondisi yang kita alami lebih dari dua dekade terakhir membuat kita sering merenyutkan dahi dan tak habis-habisnya menghela nafas. Hampir di semua lini kehidupan terjadi kemerosotan kualitas: sumber daya alam, ekonomi, politik, pendidikan, hukum, kekeluargaan, dan sebagainya. Ini terjadi pada saat dimana kita mengalami begitu ‘maju’nya studi ilmiah di semua bidang kajian, termasuk manusia–musik. Dalam studi-studi kajian tentang musik tercatat bahwa saat ini musik mengalami masa produksi-distribusi-konsumsi paling subur seumur peradaban manusia.


Tony Prabowo, seorang komposer kontemporer kebanggaan Indonesia pernah mengajukan sebuah pertanyaan retorik: “Sekarang ini musik apa yang tidak ada?”. Begitu banyak musik dari genres yang sudah tidak bisa lagi dihitung jumlahnya, hingga kita tidak lagi bisa dengan jelas membedakan satu genre dengan genre yang lain. Saat ini dengan mudah sekali kita bisa mendengarkan musik [suatu hal ya

ng tidak terlalu mudah terjadi pada awal abad 20, apalagi periode-periode sebelumnya]. Tanpa lagi kita perlu datang ke ruang dan waktu pertunjukan musik, tanpa perlu susah-susah membeli rekaman yang harganya cukup mahal, sekarang kita sudah dapat mendengarkannya di televisi, radio, ruang-ruang publik, bahkan melalui alat-alat bantu yang sifatnya personal [handphone, personal computer, mp3 player, dsb]. Dalam bidang ilmu psikologi musik, guru besar dari Universitas Keele di Inggris, John Sloboda dengan kritis menyampaikan keresahannya mengenai perkembangan ilmu psikologi musik saat ini:

”suppose all the music psychology in the world had never been written and was expunged from the collective memory of the world, as if it had never existed, how would music and musicians be disadvantaged? Would composers compose less good music, would performers cease to perform so well, would those who enjoy listening to it enjoy it any less richly?”
[Sloboda, 2005, h. 395-396]

silakan hening sejenak untuk beberapa saat

Ya, seringkali memang meningkat-drastisnya kuantitas tidak terbarengi dengan peningkatan kualitas. Dengan kata lain, saat ini musik sedang mengalami devaluasi. Fungsi-fungsi sederhana musik yang ‘dulu’ sering kita rasakan mulai tergantikan dengan fungsi-fungsi yang terlalu mewah dan jauh dari kesederhanaan hidup. Pengalaman musikal yang sifatnya personal, subtle, complex, unreplicable berubah sifat menjadi collective, plain, simple, dan replicable. Hal ini beriring dengan ‘penekanan’ musik sebagai milik sebagian orang yang mempunyai ‘kekuatan’ besar atasnya. Yang dinamakan ‘musik yang baik’ secara buta telah distandarkan mutunya bahkan disempitkan keragamannya menjadi hanya beberapa genre saja. Sebagian besar orang menganggap keberhasilan praktik musik hanyalah popularitas, rekor jumlah penjualan dan luas distribusi produk, prestasi dari kompetisi, atau saratnya jenjang formal pendidikan musik. Kita makin meninggalkan fungsi dan praktik musik yang lebih menekankan pada kenikmatan personal dan kohesi sosial [guyub], pada kesukariaan menghasilkan suara-suara yang indah, pada kesederhanaan.

Apa relevansi keluh-kesah singkat sejumlah tiga paragraf di atas dengan tantangan hidup kita sebagai manusia abad 21? Kita yang hidup di abad 21 ini, khususnya di dekade awal milenium kedua ini mengemban tugas yang cukup berat. Tugas tersebut tidak diberikan oleh generasi sebelum kita, namun justru oleh generasi-generasi mendatang. Satu kata kunci dalam tugas kita tersebut adalah LESTARI. Kata ini saya gunakan sebagai padanan dari istilah yang cukup ‘santer’ kita dengar akhir-akhir ini yaitu sustainable development. Secara khusus tahun 2005-2014 dicanangkan secara global sebagai dekade pendidikan untuk kelestarian [education for sustainable development]. Tujuan dari dekade ini adalah untuk mengintegrasikan prinsip-prinsip, nilai-nilai, dan praktek-praktek lestari [sustainable development] ke dalam semua aspek pendidikan dan pembelajaran [UNESCO, 2005]. Upaya ini akan menyemangati perubahan dalam tingkah laku yang akan menciptakan masa depan yang lebih lestari dalam hal integritas lingkungan hidup, kemampuan ekonomi, dan masyarakat yang adil untuk generasi sekarang dan mendatang. Perkembangan lestari ini hendak mengajak kita semua untuk melihat kehidupan ini tidak hanya pada saat KINI, namun juga apresiasi atas LALU, dan yang terpenting adalah usaha untuk ESOK.

Baru saja saya tersadarkan bahwa bukan pendidikan untuk kelestarian yang ingin saya ajukan atau sampaikan dalam tulisan ini, karena saya memang tidak menguasai benar topik tersebut. Namun dalam praktik pendidikan musik dan pendidikan nilai yang saya jalani selama ini, uraian di atas sungguhlah relevan dalam kajian dan praktik mengenai musik dan peningkatan kualitas hidup manusia. Uraian tersebut akan menjadi landasan dan konteks kita bersama dalam bertukar pikiran tentang apa yang bisa kita bersama kontribusikan untuk menata karakter bangsa melalui praktik kita dengan musik. Tulisan ini juga bukan merupakan advokasi terhadap pentingnya musik bagi pendidikan dan peningkatan kualitas hidup namun lebih merupakan ajakan sederhana untuk lebih memberi nilai pada musik → ‘makhluk misterius’ yang telah menemani manusia di sepanjang peradabannya.


PENGALAMAN MUSIKAL

Ada banyak definisi musik, beberapa di antaranya: “tata bunyi dan sunyi”; “keindahan yang terinderai lewat pendengaran”; “pengalaman estetis melalui media audio”; “alunan ritme, melodi, dan harmoni”; “rangsang dengar yang memberi makna bagi pendengarnya”; dan masih banyak lagi yang lainnya. Secara garis besar ada dua sudut pandang yang dapat dipakai untuk melihat ‘si musik’ ini.
Sudut pandang pertama adalah menempatkan musik ‘di luar’ sana, sebagai sebuah objek aural khas yang memberi rangsang inderawi [secara utama lewat indera pendengaran] yang kemudian kita persepsi sebagai musik. Pada sudut pandang ini, musik dianggap mempunyai nilai inheren, intrinsik, dan sudah terberi [sudah ada pada musik itu sendiri tanpa perlu diberi atau ditambahkan]. Dengan posisinya yang ‘di luar sana’, secara relatif mudah musik dapat kita ‘urai’ apa saja unsur-unsur penyusunnya. Sudut pandang ini akan lebih banyak memberikan uraian objektif dan definit tentang apa itu musik.

Sudut pandang yang kedua adalah menempatkan musik ‘di dalam’ subjek. Sudut ini melihat musik sebagai sebuah pengalaman yang sifatnya personal, kompleks, situasional dan tidak dapat direplikasi. Dengan sifat-sifat tersebut musik bukanlah untuk diformulasikan, dipastikan. Musik menjadi satu dengan subjek yang mengalaminya dalam campuran dan kombinasi yang unik dan harmonis dari kondisi fisik, mental, spiritual, sosial, budaya, ideologi, bahkan mungkin juga politik, dan sebagainya. Sudut pandang ini lebih banyak memberikan gambaran subjektif pengalaman apa yang kita dapat dari musik.

Saya yakin, tanpa perlu dipusingkan oleh kedua sudut pandang di atas, kita tahu benar apa itu musik. Tanpa perlu mendefinisikannya kita [masing-masing] tahu mana yang musik, mana yang bukan. Lebih advance lagi, saya yakin kita bisa dengan mudah membedakan mana yang keroncong, mana yang rock ‘n roll. Dalam tingkat yang lebih personal, kita mempunyai musik/ lagu/ komposisi yang sangat kita sukai, yang menjadi favorit kita masing-masing, yang sangatlah mungkin berbeda dengan orang lain. Hal ini menunjukkan bahwa selain mempunyai kualitas-kualitas objektif, musik sarat akan subjektivitas. Musik adalah sebuah pengalaman.

Pengalaman musikal menjadi kunci dari makna yang kita dapatkan [atau kita berikan] dari keterlibatan kita dengan musik. Musik bukanlah resep/ formula yang serta merta akan manjur mengatasi masalah-masalah tertentu dalam kehidupan kita. Tanpa keterlibatan aktif kita terhadapnya dan makna yang kita dapatkan atau kita berikan atasnya, musik tidak akan berbicara banyak dalam peningkatan kualitas hidup kita. Hal senada dikemukakan oleh Prof. Alexandra Lamont yang mengatakan bahwa tidak ada bukti yang menyatakan bahwa hanya dengan mendengarkan musik dapat memberi pengaruh pada kecerdasan maupun emosi anak.

Mengambil dari sudut pandang John Dewey [1938], pengalaman adalah sebuah keutuhan proses dan interaksi antara manusia dengan suatu kejadian. Suatu kejadian mensuksesi kejadian lainnya, terus-menerus, dimana di dalamnya terjadi interaksi diri [dengan segala aspeknya: kognisi, afeksi, psikomotor] dengan lingkungannya. Hal yang sama juga terjadi dalam sebuah pengalaman musikal. Kompleksitas tersebut terjadi saat kita benar-benar terlibat dengan musik. Karenanya kita bisa merasa senang atas bebunyian yang terjadi, bersemangat, lega, mengutak-atik akal dan duga, bernostalgia, terbawa dalam mood tertentu, dan berbagai macam pengaruh lainnya. Secara alamiah, inilah yang kita rasakan saat terlibat dengan musik.

Dalam teorinya tentang peak experience, Abraham Maslow mengatakan bahwa salah satu moda yang dengan mudah bisa membawa kita dalam pengalaman yang sungguh dalam tersebut adalah musik [selain seks]. Dan konsep peak experience yang diajukan Maslow tersebut merupakan pencapaian tertinggi pada tingkat aktualisasi diri. Pada titik inilah hubungan manusia–musik dapat dilihat sebagai sarana pendidikan. Pendidikan [education dalam bahasa Inggris] berakar kata dari bahasa Latin educare yang artinya mengaktualkan potensi manusia. Musik memberi kita peluang bagi memperoleh pengalaman yang dapat mengaktualkan potensi kita sebagai manusia. Kepercayaan bahwa potensi manusia pada dasarnya adalah baik sangat diperlukan untuk dapat membawa praktik musik dalam peningkatan kualitas hidup.

Kealamiahan pengalaman kita dengan musik ini juga merupakan penguat dari teori yang mengungkapkan bahwa manusia [semua orang, kecuali yang mengalami amusia atau kerusakan otak parah] adalah musikal: mampu menginderai dan menikmati musik. Saya termasuk orang yang percaya benar dengan pandangan/ teori itu dan begitu antusias untuk mempropagandakannya. Ini berarti besar [setidaknya bagi saya]: setiap orang mempunyai bekal untuk bisa mengaktualkan potensinya lewat musik.

MEMBERI NILAI PADA MUSIK [VALUING MUSIC]

Musik tidak pernah tidak, selalu berkaitan dengan nilai. Semua studi yang melihat hubungan musik dengan manusia menunjukkan bahwa musik [tidak pernah tidak] mempunyai nilai dalam kehidupan manusia. Lebih lanjut lagi, musik diyakini ada [atau diadakan] untuk melayani nilai tertentu [religius, ekonomis, ekspresi, komunikasi, politis, dan lainnya].
Dari sudut pandang pertama tentang apa itu musik [yang melihat musik ‘di luar’ sana], musik diyakini mempunyai nilai inheren dan sudah terberi padanya: musik sudah bernilai dari ‘sana’nya. Suatu karya musik yang baik adalah penataan yang baik dari elemen-elemen suara/ bunyi sesuai dengan standar tertentu. Tidak jarang orang dengan sudut pandang ini akan dengan mudah membandingkan mutu musik klasik dengan musik dangdut [sebagai contoh]. Dari sudut pandang ini, praktik musik dilihat sebagai upaya untuk mengaktualkan nilai-nilai inheren yang dimiliki musik: bagaimana menampilkan suatu karya agung agar sesuai benar dengan maksud si komposer; bagaimana ‘menjual’ musik tertentu agar sesuai dengan karakter dan nature suatu karya; bagaimana cara yang paling tepat menikmati suatu karya musik; dan sejenisnya.

Sedangkan dari sudut pandang kedua yang melihat musik adalah sebuah pengalaman subjektif, nilai adalah sesuatu yang kita berikan [assign] pada musik dan praktiknya. Subjektivitas sebuah pengalaman menjadikan kita sebagai agen proaktif dalam pemberian makna atas praktik dengan musik. Setiap jenis musik [yang merupakan hasil dari praktik musik] mempunyai nilai yang sangat khas, yang tidak mudah [kalau tidak bisa dibilang tidak mungkin] untuk dibandingkan satu dengan lainnya dalam hal nilai. Nilai ekspresi jatuh cinta “Für Ellise” karya Beethoven tidak begitu saja bisa dibandingkan dengan ekspresi yang sama pada lagu folk Sunda “Bubuy Bulan” [sebagai contoh]. Musik bukan saja tata bunyi, lebih dari itu interaksi kompleks elemen intramusikal [nada, temporal, timbre, dan dinamika] dan ekstramusikal [konteks, nilai personal-komunal, budaya, ideologi, politik, dan lainnya].

Tentunya kita tidak harus memilih satu saja dari dua sudut pandang tersebut. Pemahaman atas kedua wacana tersebut akan memperkaya kita dalam menentukan apa, mengapa, dan bagaimana praktik kita dengan musik dalam kesesuaiannya dengan tujuan kita, kondisi saat ini, dan tantangan saat ini dan masa depan.

Lebih dari dua dekade terakhir ini, kita banyak di'bombardir' dengan data-data [baik yang empirik maupun spekulatif] tentang pentingnya musik bagi perkembangan anak-anak. Dari mulai pengaruhnya terhadap kemampuan bahasa, berhitung, spasial, juga kedisiplinan anak. Salah satu contohnya adalah demam Efek Mozart. Tidak sedikit orang tua yang kemudian 'berlomba' memberikan stimulasi musik kepada anaknya dalam dosis dan formula tertentu. Tujuannya adalah agar anak-anak mereka cepat berkembang kemampuan bahasanya, jenius dalam matematika, serta disiplin di rumah dan di sekolah. [Sayangnya] hanya musik-musik tertentu saja yang secara populer dianggap pasti memberikan efek manjur [banyak juga yang menganggapnya sah secara ilmiah]. Kenyataan ini banyak dilirik oleh para ‘pengamat-pengisi peluang’ [saat ini banyak yang memberikan istilah pada orang-orang tersebut sebagai enterpreneur] sebagai celah untuk berbisnis –dalam konotasi yang sempit, peluang untuk menghasilkan profit saja tanpa usaha keras mensustain benefit. Kita banyak melihat bungkusan susu balita dengan bonus CD yang berisi lagu-lagu yang dapat membuat mereka cerdas; di toko-toko rekaman musik audio banyak dijual album “Musik untuk Bayi Anda”, “Musik untuk Membuat Anak Jenius”, dan sejenisnya. Tidak sedikit juga para orangtua yang segera mencari institusi-institusi pendidikan untuk anak usia dini yang memberikan pelajaran musik, tanpa merasa perlu dengan teliti dan bijaksana mempedulikan dan mempertimbangkan pendekatan apa yang digunakan dan bagaimana jalannya pendidikan musik yang akan dialami putra-putrinya [kabar gembira bagi advokasi pendidikan musik bagi anak!]. Musik dianggap sebagai zat mujarab yang dapat mengatasi masalah perkembangan anak. Kenyataan ini berlanjut pada makin senjangnya status sosial dimana musik yang ‘baik’ menjadi barang ekslusif yang hanya bisa didapat dan digunakan oleh mereka yang mampu mengadakannya sesuai formula dan dosis yang dianjurkan.

Benarkah hal-hal ini yang ditawarkan musik untuk anak-anak kita? Nilai apa yang perlu kita jadikan pedoman, panduan, dan tujuan dalam memfasilitasi praktik musik putra-putri kita?

Dari Pendekatan Keamanan ke Fokus pada NILAI

Dewasa ini, musik untuk anak banyak dilihat sebagai sarana bantu anak mendapatkan masa depan yang aman. Orangtua banyak mengharapkan agar dengan musik, anak-anaknya kelak akan sukses. Kebanyakan dari mereka menekankan prioritas pada tangibility hasil pendidikan musik: “Setelah sekian bulan, anak saya bisa memainkan lagu apa saja?”, “Kalau ikut kursus di sini, anak saya bisa main di konser dong?”, dan sejenisnya. Sayangnya institusi-institusi pendidikan musik merasa perlu juga menaruh prioritas yang sama agar tidak kehilangan calon siswanya [pada ‘jaman’ sekarang, fakta ini seringkali harus ditanggapi dengan maklum]. Hal ini berlanjut pada fokus pengajaran yang menekankan pada ‘bagusnya’ atau ‘ketidaksalahan’. Saat menampilkan musik, penekanannya adalah ‘jangan sampai salah’, ‘mainlah dengan aman’. Untuk menyampaikan penekanan ini, beberapa pendidik merasa bahwa cara paling ‘aman’ adalah memberi penekanan instruksional hanya pada elemen-elemen intrinsik musik: memainkan nada dengan tepat, eksekusi ritmik benar, dinamika dapat dimainkan dengan tepat, bahkan mimik muka pun harus ‘benar’ [dengan dalih bahwa hal-hal ini adalah indikator tingkah laku musikal yang karenanya harus dapat diukur]. Tidak sedikit para pendidik musik yang menerapkan kendali otoritarian karena cara ini dianggap sangat efisien untuk mengarahkan anak pada pencapaian tingkah laku terukur yang diinginkan. Hukuman menjadi alat untuk membentuk tingkah laku yang ingin dicapai, apapun bentuk hukumannya [dari setrap, tanpa ‘tedeng aling-aling’ membandingkan performance anak yang belum ‘baik’ dengan anak lain yang sudah lebih ‘baik’, atau mengabaikan anak yang belum menunjukkan tingkah laku yang diharapkan]. Penekanan pada ‘ketidaksalahan’ berlanjut pada cara mengevaluasi yang hanya berfokus pada jumlah munculnya tingkah laku menampilkan musik: si A sudah 80% tidak salah, si B tidak pernah mau memainkan instrumen, si C tidak pernah salah dalam memainkan lagu, dan sebagainya. Tidak bisa dipungkiri beberapa hal tersebut: fokus pada tangibility [sehingga bisa ‘mudah’ terukur], frekuensi/ kuantitas ‘kemunculan’ tingkah laku, kendali melalui hukuman, adalah hal-hal yang kita dapatkan dalam pendidikan yang kita alami selama ini. Hal-hal itu jugalah yang didapat oleh banyak pendidik saat mereka belajar tentang apa, mengapa, dan bagaimana berlangsungnya pendidikan. Dan [bisa jadi] ini adalah cara efektif untuk dapat mengukur keberhasilan pendidikan.

Pada titik inilah kita perlu untuk melihat lagi, keberhasilan seperti apa yang kita harapkan dari keterlibatan anak-anak kita dengan musik. Lebih mendasar lagi, kita perlu menentukan nilai apa yang akan kita berikan pada praktik musik [dan oleh karenanya nilai apa yang kita berikan pada musik itu sendiri]. Secara tidak sadar orangtua dan pendidik membebankan pada musik suatu ‘tugas’ untuk menyelesaikan permasalahan anaknya di masa depan: agar anak saya pandai matematikanya, sehingga NANTI nilai matematikanya bisa baik, sehingga NANTI nilai ujiannya baik, sehingga NANTI mudah mencari sekolah yang baik, sehingga NANTI bisa lulus dengan nilai yang baik, sehingga NANTI bisa mudah mencari pekerjaan, sehingga NANTI bisa memperoleh keamanan hidup, dan seterusnya. Tentulah keinginan ini tidak salah. Darwin pun akan setuju bahwa pemikiran ini diperlukan agar keturunan kita bisa selamat kelak. Poin yang ingin disampaikan dalam tulisan ini adalah ajakan untuk melihat dengan rendah hati dan sederhana, apa yang kita rasakan dan harapkan dari musik untuk kehidupan kita. Hal-hal tersebut adalah yang dimaksud dengan NILAI.

Dari sekian banyak informasi tentang pentingnya musik bagi perkembangan anak, sedikit sekali yang melihat dan membahas bahwa salah satu pengaruh sederhana dan kuat dari musik terhadap anak-anak adalah memberikan pengalaman yang sangat indah yaitu SENANG. Pengalaman sederhana nan indah ini sedikit dilihat sebagai hasil yang dituju dari praktik musik. Begitu juga dengan NILAI yang lain: Kedamaian, Kasih Sayang, Respek, Kesederhanaan, Kejujuran, Toleransi, Kerjasama, Persatuan, Kebebasan, Kerendahhatian, Tanggung Jawab.

Pendekatan ‘keamanan’ dalam pendidikan musik perlu untuk dirubah dengan pendekatan dan fokus pada NILAI. Yang saya maksud dengan NILAI di sini adalah hal-hal berharga yang selain bermakna personal namun tidak bisa dipungkiri universal sifatnya, yang akan membantu kita bersama untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Saya yakin, kita semua, masing-masing dan bersama-sama rindu akan Kedamaian, Kasih Sayang, Respek, Kesederhanaan, Kejujuran, Toleransi, Kerjasama, Persatuan, Kebebasan, Kerendahhatian, Tanggung Jawab. NILAI-NILAI tersebut kita butuhkan, semua dari kita, tanpa terkecuali.

Agar dapat teraktualkan, NILAI-NILAI tersebut mensyaratkan suasana yang juga bermuatan NILAI: suasana yang memberikan perasaan dihargai, dicintai, bernilai, dipahami, dan aman. Dengan terciptanya suasana bermuatan NILAI, aktualisasi potensi diri adalah sebuah keniscayaan. Apa implikasi interlude singkat tentang NILAI ini pada praktik kita dengan musik?

IMPLIKASI PADA PRAKTIK MUSIK
Memberi makna dan nilai pada musik sebagai suatu hal yang berharga, bermanfaat, dan menyenangkan mengimplikasikan pemberian sikap positif kepada musik. Musik tidak hanya sekedar dipandang sebagai suatu rangkaian bunyi yang harus dimainkan/ didengarkan, dijual, dikompetisikan, namun –lebih sederhana dari itu– adalah rangkaian bunyi yang indah, yang jika disimak lebih dalam bisa menyampaikan sesuatu yang berharga kepada kita.

Menyimak adalah moda utama dalam praktik musik. Tanpa kegiatan ini, kualitas intrinsik musik tidak akan dapat kita inderai dan oleh karenanya mustahil memberi makna atas praktiknya. Seluruh praktik musik harus berputar di sekeliling kegiatan menyimak: baik itu membuat musik, mendokumentasikan musik, menampilkan musik, maupun komposisi dan improvisasi. NILAI apa yang dapat kita dapatkan (atau lebih lanjut kita berikan) dalam menyimak? Menyimak membolehkan kita untuk merasakan apa yang disampaikan; menyimak memberi kita kesempatan untuk mengikutsertakan diri kita dalam sebuah pengalaman yang utuh; menyimak mengajarkan penghargaan atas hal-hal yang ada di luar diri kita, sekaligus menghargai diri kita sendiri yang sedang menjalani sebuah pengalaman.
Musik tidak akan dapat kita alami jika ia tidak teraktualkan. Partitur musik secanggih apapun tidak akan menjadi musik ketika ia tidak dimainkan; poster seorang rock star tidak akan memberikan pengalaman musikal jika tidak ada lagu yang terdengar darinya. Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas membuat musik (music-making) sangatlah penting dalam praktik musik. Anak-anak perlu untuk mendapatkan kesempatan seluas-luasnya untuk membuat musik. Kesempatan ini melatih anak untuk dapat mengatasi kesenjangan antara kemampuan musiknya dan tantangan musikalnya. Kesesuaian antara kemampuan musik dan tantangan musikal akan mengarah pada perkembangan diri, pemahaman diri, kenikmatan musikal, dan juga toleransi. Ketidaksesuaian antara keduanya akan mengakibatkan perasaan tertekan atau kebosanan.

Akomodasi dan pengenalan (atau bahkan mungkin pendalaman melalui praktikum) atas beberapa jenis/ style/ genre dalam praktik musik juga merupakan cara yang tepat bagi anak-anak kita untuk dapat memahami kekayaan pengalaman dari berbagai budaya. Hal ini tentunya akan memfasilitasi toleransi mereka atas budaya lain. Anak-anak akan mendapatkan kekayaan nilai musikal (intra dan ekstra-musikal) dari praktiknya dengan beberapa jenis musik.

Suasana musikal yang menyelimuti praktik musik anak-anak kita harus diperkental dengan suasana yang bermuatan nilai. Ruangan yang penuh dengan pigura berisi diagram alat-alat musik, poster musisi, dan musical notation chart tidak akan membuat anak menjadi musikal tanpa adanya suasana yang sederhana dan menjamin perasaan positif pada anak yang akan membuat mereka siap untuk mengalami musik dan memberi makna atasnya. Pemberian sikap positif ini juga mengimplikasikan semangat dan perasaan gembira dalam mengikuti kegiatan musik. Bagi anak-anak usia dini [0-6 tahun] musik seyogyanya adalah suatu kegiatan yang menyenangkan baik dari saat persiapan, proses belajar, dan saat menikmatinya. Mari kita ingat-ingat lagi betapa senangnya kita mendengarkan orangtua kita meninabobokan kita dengan suaranya yang indah [atau pas-pasan]; betapa senangnya kita menyanyikan lagu-lagu mengiringi permainan bersama teman-teman; betapa antusiasnya kita membuat sendiri alat yang bisa menghasilkan bunyi-bunyian yang unik!
Model musikal sangat diperlukan anak-anak dalam keberhasilan praktik mereka dengan musik. Model yang baik akan dapat memacu dan menjaga motivasi anak dalam berpraktik musik. Lebih lanjut lagi, banyak sekali nilai-nilai positif yang dapat kita ajarkan kepada anak-anak kita jika kita mengajarkan kepada mereka bahwa musik adalah suatu hal yang berharga, bermanfaat, dan menyenangkan. Jika model musikal adalah mereka yang tidak memberi nilai positif pada musik, akan sulit bagi anak-anak kita untuk berpraktik musik dengan motivasi yang juga positif. Disiplin, konsistensik fleksibilitas, ceria, antusias, kerja keras, rendah hati, jujur, adalah beberapa dari kualitas-kualitas yang sangat diharapkan anak-anak dari kita yang mereka jadikan model/ teladan.

Memberi makna dan nilai pada musik sebagai suatu hal yang berharga, bermanfaat, dan menyenangkan adalah pintu gerbang utama bagi kita untuk dapat mengalami pengaruh positifnya. Pemeliharaan relevansi praktik musik dan nilai dalam kehidupan sehari-hari juga merupakan tugas kita untuk mengamankan anak-anak dari situasi yang membingungkan. Anak-anak kita perlu untuk mendapatkan pengalaman langsung dimana praktik musik yang baik akan membawa kita pada aktualisasi nilai. Lingkaran ‘jahat’ yang tertampil dalam kehidupan sehari-hari yang [untuk sebagian orang] memaparkan ‘fakta’ bahwa kehidupan bermusik tidak dapat menjamin kelangsungan hidup [atau justru membawa pada penderitaan] perlu kita hapus dan kita nyatakan dengan bukti-bukti sederhana yang menyejukkan. Hidupnya musik dalam beberapa komunitas atau beberapa komunitas yang berbasiskan seni/ musik banyak yang bisa dijadikan contoh baik bagi anak-anak kita dalam memperluas wawasannya akan praktik musik. Atau bahkan mungkin Anda bisa membentuk sendiri komunitas seperti itu di lingkungan Anda ☺

No comments:

Post a Comment

browser info

IP

technorati

Add to Technorati Favorites