Pages

Friday, January 16, 2009

PERANG KOTOR DI JALUR GAZA

Jenderal Yahudi berambut dan berjanggut keperakan yang biasa berbicara sambil tersenyum itu, tak lagi tampak ramah. Sehari sebelum serangan besar ke Jalur Gaza, di hadapan beberapa wali kota di Israel selatan, Jenderal Dan Harel menggumam, berjanji. ”Ketika operasi ini berakhir nanti, tak akan ada lagi bangunan Hamas yang masih berdiri di Gaza,” kata Wakil Kepala Staf Angkatan Bersenjata Israel itu.

Harel memang tidak bercanda: ia berbicara kepada wakil masyarakat Israel. Dan itu sangat penting; ia cepat mencicil janjinya. Hari keempat setelah mesin perang Israel menembus biru langit Jalur Gaza, pesawat-pesawat tempur F-15 dan F-16 serta helikopter CH-53 menembakkan rudal ke segala yang ”berbau” Hamas: kantor polisi, kementerian dalam negeri, masjid yang diperkirakan merupakan pusat gerakan, universitas yang diyakini menjadi pusat penelitian persenjataan Hamas. Bangunan porak-poranda, tapi bukan para anggota Hamas yang kemudian bergelimpangan mati.

Digempur sejak Sabtu, 27 Desember lalu, dari udara, laut, dan darat, wilayah seluas 40 kali 10 kilometer itu kehilangan banyak warga sipil. Dalam kurun dua minggu, lebih dari 3.200 penduduk sipil luka-luka dan 780 tewas—menurut kementerian kesehatan setempat, 42 persen korban anak-anak. Israel menuding anggota Hamas telah menggunakan penduduk sipil sebagai tameng hidup. Yang terang, setelah pasukan darat Israel melintasi perbatasan, perang gerilya kota telah meroyan di Gaza yang sempit dan padat penduduk itu.

Korban sipil terus jatuh dan dunia tak berdaya menghentikan instrumen perang Israel yang membantai perempuan dan anak-anak Palestina. Tapi sebuah jajak pendapat yang dilakukan surat kabar Haaretz menunjukkan masyarakat Israel mendukung operasi itu. Bahkan di samping 52 persen yang mendukung serangan udara, ada 19 persen yang mengharapkan serangan darat. Hanya 25 persen yang menganjurkan gencatan senjata secepatnya.

Dalam sepuluh hari pertama serangan, ada seratus lebih korban sipil tewas, kata seorang pejabat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Dengan dukungan luar biasa dari dalam negeri, pasukan Israel pantang melangkah surut. Dan cepat sekali, ekses-ekses perang gerilya kota pun muncul.

Minggu, 4 Januari, sehari setelah serangan darat dimulai, di Distrik Zaitun, Gaza, tentara Israel menembaki sebuah rumah yang separuhnya berisi anak-anak. Seorang saksi yang selamat bercerita: sehari sebelumnya tentara Israel mengungsikan sekitar 110 warga sipil ke rumah yang letaknya di tenggara Gaza itu. Namun, 24 jam kemudian rumah yang mereka tumpangi justru ditembaki tentara Israel. Sedikitnya 30 orang gugur. Kantor Urusan Kemanusiaan PBB (OSCHA) menyatakan itu ”salah satu insiden yang paling mengerikan sejak operasi dimulai”.

Laporan mereka juga menyebut bahwa pasukan Israel sempat melarang tim medis mengevakuasi dan menolong korban. Tim Sabit Merah dan Palang Merah Internasional yang dihalang-halangi masuk ke tempat kejadian, mengadukan hal yang sama.

Itu bukan satu-satunya ekses yang kelewat susah disembunyikan. Selasa, 5 Januari, sebuah rudal Israel jatuh tepat di depan sebuah sekolah PBB di kamp pengungsi Jabaliya. Sekolah yang selama serangan Israel menjadi tempat berlindung itu, hancur dan 40 anak di dalamnya tewas. Padahal, menurut seorang pejabat Unicef, bendera dan tulisan organisasi itu tak mungkin luput dari penglihatan. Badan perwakilan PBB memang kerap menjadi sasaran tembak Pasukan Pertahanan Israel (IDF).

Kamis pekan lalu Israel menyerang konvoi badan PBB untuk urusan pengungsi, Unrwa. Iring-iringan mereka ditembaki ketika membawa bantuan kemanusiaan dari Erez ke Gaza. Seorang pekerja tewas, dua lainnya luka-luka dalam serangan pada saat tiga jam jeda tembak-menembak itu. Setiap hari Israel dan Hamas setuju menahan serangan sementara, untuk memberikan kesempatan bagi tim kemanusiaan menunaikan aksi sucinya.

Korban sipil semakin banyak, begitu juga demonstrasi menentang agresi Israel di kota-kota Eropa dan negara-negara Arab. Masyarakat internasional gelisah, pemimpin Prancis dan Mesir mencari jalan untuk menghentikan angkara murka yang memerangkap rakyat sipil ini.

Jumat, hari ke-14 serangan Israel, Dewan Keamanan PBB bersidang di New York dan melahirkan Resolusi PBB Nomor 1860. Resolusi yang disetujui 14 dari 15 anggota Dewan Keamanan—Amerika Serikat abstain—menyerukan sebuah gencatan senjata sesegera mungkin; gencatan yang tahan lama dan mengharuskan pasukan Israel cepat angkat kaki dari Gaza begitu gencatan disetujui.

Israel menolak. Seakan berbicara kepada rakyatnya, Perdana Menteri Ehud Olmert menyatakan, ”Israel tak pernah menyetujui setiap pengaruh luar mana pun untuk memutuskan hak membela rakyatnya.” Hamas juga menolak resolusi itu, dengan alasan berbeda. ”Kami tidak diajak berunding dan mereka tak mempertimbangkan misi dan kepentingan rakyat kami,” kata Ayman Taha, juru bicara Hamas di Gaza.

Maka beraksilah helikopter dan jet tempur Israel melancarkan serangan, yang kemudian dibalas dengan pengiriman roket Hamas ke kota-kota di Israel selatan.

Di dunia internasional, Hamas, yang menang dalam pemilihan parlemen pada 2006, tidak terlalu populer. Berbeda dengan Fatah, faksi Palestina saingannya yang kooperatif, Hamas tidak mengakui keberadaan Israel dan tidak hendak meninggalkan perjuangan bersenjata untuk sebuah Palestina merdeka. Sikap keras yang berbuah isolasi ini membuat penduduk Gaza hidup dengan pasokan makanan, fasilitas kesehatan, air bersih, gas, dan listrik yang sangat terbatas selama 19 bulan terakhir. Dan kini Hamas yang kaku itu mengesampingkan nasib rakyat sipil.

Karena itulah berita dari The Guardian Kamis pekan lalu cukup mengejutkan. Surat kabar itu menyatakan tim Barack Obama, presiden terpilih Amerika Serikat, bersiap membuka jalur komunikasi dengan Hamas. Selama ini pemerintah Presiden George W. Bush menolak berunding dengan organisasi yang disebutnya teroris itu. Menurut sumber yang dikutip koran Inggris itu, kontak awal dengan Hamas akan dilakukan intelijen Amerika. Mirip proses rahasia ketika Washington menjalin hubungan dengan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) pada 1970-an.

Adakah ini berarti politik Amerika di Timur Tengah berubah total? Banyak kelompok moderat Israel yang menginginkan Amerika sebagai kawan yang baik: menegur Israel jika ia berbuat salah, mendukung jika ia berada di jalan yang benar. Ini berbeda dengan kebijakan pro-Israel George W. Bush, yang selalu melindungi Israel dengan pasokan senjata dan veto-vetonya.

Bagaimanapun, yang terang Israel telah mengobarkan sebuah perang yang mendapat dukungan solid rakyatnya. Bulan depan Israel menyelenggarakan pemilihan umum. Dan perkembangan ini tentunya dapat menyelamatkan popularitas koalisi Partai Kadima (Menteri Luar Negeri Tzipi Livni) dan Partai Buruh (Menteri Pertahanan Ehud Barak), yang melorot ketika menghadapi si ultranasionalis Benjamin Netanyahu selama ini.

Apalagi alasannya cukup bisa diterima masyarakat Israel: mengakhiri serangan Hamas yang mendarat di kota-kota Israel selatan—Shderot, Asqalan, Majdal, dan Ashdod—tiga tahun belakangan. Orang-orang yang tengah terobsesi dengan politik sesaat itu mungkin tidak pernah berpikir bahwa langkah seperti ini dapat melahirkan intifadah gelombang ketiga.

Bukankah ini mirip langkah jenderal-jenderal Argentina yang mengobarkan perang merebut pulau-pulau Malvinas untuk menyembunyikan niat busuknya pada 1970-an—yang kemudian dikenal sebagai Dirty War alias perang kotor?

No comments:

Post a Comment

browser info

IP

technorati

Add to Technorati Favorites