Pages

Friday, March 13, 2009

Jermal: Laskar Tanpa Pelangi

Bukan sekedar menghibur dan membawa pesan moral, Jermal adalah film yang bisa menyadarkan kita bahwa dunia nggak selalu secerah warna pelangi.

Ide cerita film ini berawal ketika Ravi Bharwani, salah satu sutradara Jermal, membaca artikel tentang anak-anak di bawah umur yang bekerja di jermal-jermal di perairan Sumatera Utara.

Wajar kalo Ravi menganggap cerita ini layak diangkat ke dalam film. Kasus anak-anak di bawah umur yang bekerja di jermal emang udah cukup mengkhawatirkan dan sempat diajukan ke PBB di tahun 1990-an.


Rata-rata pekerja di jermal berumur 20-an, tapi di beberapa jermal bisa ditemukan anak-anak berumur 14 tahun, bahkan lebih muda. Mereka bekerja di sana dengan latar belakang yang berbeda-beda. Ada yang ingin mencari uang, ada yang dikirim orang tuanya untuk mencari nafkah, ada juga yang diculik.

Beberapa anak pekerja jermal ini bisa kamu lihat juga di film Jermal, karena empat orang aktor yang memerankan teman-teman Jaya di film ini adalah anak-anak jermal betulan.

Tokoh utama film ini adalah seorang anak berumur 12 tahun yang bernama Jaya. Sebelum ibunya meninggal, Jaya diberi pesan untuk mencari bapaknya yang bekerja di jermal alias dermaga penangkap ikan di tengah laut. Tugas ini jadi sulit, karena sejak lahir, Jaya belum pernah sekalipun bertemu Johar, sang ayah. Apalagi Johar nggak mau mengakui bahwa Jaya adalah anaknya.

Demi meluluhkan hati Johar, Jaya terpaksa ikut bekerja di atas jermal bersama anak-anak lainnya. Sebagai seorang anak baru, dia pun di-bully. Belum lagi kehidupan di atas jermal ternyata sangat mengkhawatirkan. Untuk minum aja, mereka harus mengumpulkan air hujan.

Selain kisah perjuangan Jaya untuk bertahan hidup di atas jermal sekaligus melunakkan hati ayahnya, film ini juga berusaha mengangkat isu sosial, yaitu anak-anak di bawah umur yang bekerja di jermal. Diceritakan, Jaya, Johar, dan anak-anak penghuni jermal terpaksa harus bersembunyi atau mencebur ke dalam laut setiap ada kapal lewat atau patroli berkunjung.

“Kami emang bukan cuma pengen ngasih cerita yang universal tentang hubungan ayah dan anak, tapi juga sekaligus ngebuka mata penonton bahwa di Indonesia tuh ada yang seperti ini,” kata Rayya Makarim, sang sutradara.

Setting dan akting anak-anaknya emang sedikit mengingatkan kita pada Laskar Pelangi. Cuma bedanya, hidup anak-anak jermal ini nggak secerah warna-warni pelangi.

No comments:

Post a Comment

browser info

IP

technorati

Add to Technorati Favorites